Tren YONO Gantikan YOLO, Apa Itu?
- Pandemi COVID-19 tidak hanya mengubah cara hidup, tetapi juga pola konsumsi masyarakat.
Jika beberapa tahun lalu dunia diwarnai dengan semangat YOLO alias you only live once (kita hanya hidup satu kali) yang mendorong pengeluaran besar untuk pengalaman dan barang mewah, kini muncul tren baru: YONO atau you only need one.
Baca juga: Viral di Medsos “No Buy Challenge 2025”, Apa Itu?
Apa itu? Berikut ulasannya seperti dilansir dari CNN dan Maeil Business Newspaper.
Apa itu YONO?
Setelah pandemi, banyak orang merasa perlu “balas dendam” terhadap waktu yang hilang dengan melakukan pengeluaran besar.
Fenomena ini dikenal sebagai YOLO economy, di mana orang-orang membeli barang mahal seperti sepeda olahraga, renovasi rumah, dan perjalanan mewah. Hal ini didorong oleh pemikiran bahwa hidup terlalu singkat untuk ditunda.
Namun, lima tahun setelah pandemi, euforia tersebut mulai memudar. Inflasi yang masih tinggi, tabungan era pandemi yang semakin menipis, serta ketidakpastian pasar tenaga kerja membuat masyarakat lebih hati-hati.
Menurut seorang ahli strategi pasar dari Wells Fargo Investment Institute, Sameer Samana, perubahan ini juga terkait dengan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan normal baru.
Kembali bekerja di kantor, berkurangnya fleksibilitas kerja jarak jauh, dan tekanan ekonomi menjadi pendorong utama tren ini.
“Pada akhirnya, orang harus kembali ke pola hidup yang lebih stabil. Mereka mulai menyusun ulang prioritas dan memikirkan masa depan,” kata Samana, seperti dilansir dari CNN Business.
Tren YONO menawarkan pelajaran penting tentang pengelolaan keuangan dan keseimbangan hidup.
Setelah melewati fase YOLO yang penuh euforia, masyarakat kini beralih ke pola hidup yang lebih sadar, hemat, dan berorientasi jangka panjang.
Pilihan ini tidak hanya mencerminkan adaptasi terhadap tantangan ekonomi, tetapi juga bentuk introspeksi untuk menemukan keseimbangan antara kebutuhan dan keinginan.
Belum lama ini, selama periode pergantian tahun, media sosial di Tanah Air juga ramai dibincangkan soal "No Buy Challenge", tren yang bertujuan mengurangi overconsumption (konsumsi berlebihan) dengan mengajak masyarakat agar tidak membeli barang non-esensial sepanjang tahun 2025, seperti dilansir dari .
Untuk mengontrol rasa Fear of Missing Out (FOMO) dan keinginan membeli barang yang sedang ngetren, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan.
Founder Komunitas Gaya Hidup Minimalis Lyfe with Less, Cynthia Suci Lestari menyebutkan salah satunya adalah memprioritaskan barang timeless dan fungsional, daripada barang yang sekadar sedang tren.
“Usia cinta kita terhadap barang trending biasanya akan pendek, karena barang tersebut sudah tidak trending lagi akibat munculnya tren baru,” jelas Cynthia.
Memiliki pola pikir ini, memungkinkan kita untuk menghargai nilai barang yang kita miliki secara lebih mendalam dan tidak terjebak dalam siklus konsumsi yang berlebihan.
Terkini Lainnya
- Siswa Dihukum karena Tunggakan SPP, Psikolog Ungkap Dampaknya
- Krisis Tenaga Kerja di Jepang, Gen Z Panen Tawaran dan Fasilitas Kerja
- Bella Hadid Kenang Rumah Masa Kecilnya di LA yang Hangus Terbakar
- Salma Salsabila Lamaran, Intip Lagi 5 Ide OOTD Khasnya
- Zayn Malik Ulang Tahun, Intip 4 Ide OOTD Serba Monokromnya
- Dibanding Perempuan, Keputusan Finansial Pria Lebih Sering Dipengaruhi Emosi
- Waspadai Dampak Psikologis pada Anak jika Orangtua Terlibat "Swinger"
- Raline Shah Dilantik jadi Stafsus Menkomdigi, Intip 7 Potretnya
- Intip Gaya Anggun Raline Shah Saat Dilantik Jadi Stafsus Menkomdigi
- Porsi Nasi di Makan Bergizi Gratis Dianggap Terlalu Banyak, Bagaimana Idealnya?
- Britney Spears Kena Imbas Kebakaran di Los Angeles, Menyetir hingga 4 Jam untuk Mengungsi
- Muncul "Breakout" Setelah Perawatan Jerawat, Apakah Tanda Tidak Cocok?
- Dokter Gizi Imbau Program Makan Bergizi Gratis Perketat 6 Prinsip HACCP demi Kesehatan Anak
- Keluhan Makanan Basi di Menu Makan Bergizi Gratis, Apa Dampaknya jika Dikonsumsi Anak?
- Komunikasi Lewat Teks Bermanfaat untuk Introvert dan Ekstrovert