Pergantian Waktu dan Rekonstruksi Makna Daya Saing
MASYARAKAT Indonesia selama bertahun-tahun, pada umumnya terjerat pada konstruksi sosial klasik berbunyi; momentum pergantian tahun adalah saat terbaik untuk instrospeksi dan memastikan peningkatan daya saing di tahun depan.
Berulang kali kita mendengar para pejabat/pemimpin atau para pembesar kita berteriak ”jika ingin sukses, maka kita harus meningkatkan daya saing”.
Atau, kalimat lain seperti ”Ingat, di tahun depan, daya saing harus kita tingkatkan”. ”Tahun depan, daya saing kita harus lebih baik dari tahun kemarin”.
Pertanyaannya, benarkah demikian? Haruskah kita bersaing, berlomba untuk mengalahkan orang lain dan bahkan merendahkan orang lain untuk menjadi sukses? Haruskah kita menyampaikan pada dunia bahwa kita yang terhebat?
Konsep daya saing sejatinya memiliki potensi untuk dapat membahayakan. Ketika ’nasihat’ ini merasuk ke kepala setiap orangtua, maka mereka akan berlomba-lomba meningkatkan dan menggelembungkan daya saing putra dan putrinya, agar dapat mengalahkan sebanyak mungkin anak-anak lainnya. Sang anak diikutsertakan pada satu perlombaan ke perlombaan lainnya.
Demikian juga di perusahaan, di mana setiap karyawan diharuskan ’bersaing’ antara satu dengan lainnya.
Konsep daya saing cenderung melegalkan pembandingan satu pihak dengan pihak lainnya. Sehingga, seakan-akan untuk menjadi sukses dan juara, tidak ada cara lain selain ’berperang’ dengan (yang dianggap) sebagai kompetitor.
Padahal sejatinya, tidak ada satu orang pun yang ”apple to apple’ untuk dibandingkan dengan orang lainnya. Lah wong, sidik jari setiap manusia saja berbeda-beda?
Sehingga, sudah pasti hal-hal lainnya pun berbeda, seperti tingkat kecerdasannya, kepribadiannya, bakatnya dan lain sebagainya.
Oleh karena, ragam pemikiran alternatif bermunculan untuk ’menyempurnakan’ konsep daya saing ini.
Surpetisi
Salah satunya muncul dari pakar kreatifitas, yaitu Edward deBono dalam (Santosa, 2023), yang menawarkan konsep surpetisi, alih-alih kompetisi.
Surpetisi mengandung makna ”bertanding” dengan capaian pribadi di masa lalu. Ini adalah kompetisi dengan diri kita sendiri.
Pertandingan untuk memastikan hari ini kita lebih baik dari hari kemarin, bulan kemarin dan tahun-tahun kemarin.
Surpetisi tidak perlu mengalahkan dan merendahkan orang lain. Surpetisi berfokus pada apa yang telah dimiliki dan berpotensi dikembangkan.
Maka senada dengan hal ini, adalah konsep Appreciative Inquiry (Whitney & Bloom, 2007) yang pernah sangat populer.
Terkini Lainnya
- Waspadai, Risiko Kesehatan di Balik Praktik "Swinger"
- Kenapa Fenomena "Swinger" Lebih Sering Dijumpai di Kota Besar?
- Jadi Orangtua, Gen Z Awal Lebih Kritis Soal Info Kesehatan
- Intip 4 Ide OOTD Kasual Kim Yoon Hye, Pemeran di Love Scout
- Alasan Gen Z Awal Cukup Matang dalam Mempertimbangkan Jumlah Anak
- Kasus Siswa Dihukum Duduk di Lantai Bisa Hilangkan Motivasi Belajar
- Cerita Tom Holland, Adaptasi Pola Makan Demi Peran
- 5 Cara Mengatasi IBS untuk Pencernaan yang Lebih Nyaman
- Sibuk tapi Ingin Merawat Kulit? Eva Mulia Clinic Tawarkan Perawatan Praktis dan Efektif
- 5 Ide OOTD Han Ji Min dalam Serial Love Scout, Cocok untuk ke Kantor
- Orangtua dari Gen Beta Enggan Punya Anak dengan Jarak Usia Berdekatan
- Siswa SD Dihukum Belajar di Lantai karena Menunggak SPP, Pakar Sebut Termasuk "Bullying"
- 9 Makanan untuk Mengatasi Gejala Depresi, Kimchi hingga Kacang Arab
- Siswa Tunggak SPP, Hukuman Intimidatif Bisa Sebabkan Anak Stres hingga Depresi
- Makan Bergizi Gratis, Pahami Preferensi Makan Anak dengan Merangkul Penjual Kantin