luxdomini.net

Apakah Masyarakat Indonesia (Sudah) Mampu Memilih Asupan Sehat?

Ilustrasi memilih asupan sehat.
Lihat Foto

Sejak Survei Kesehatan Indonesia 2023 dirilis, segelintir orang terhenyak berusaha memahami deretan angka-angka dan interpretasinya, implikasinya ke hari depan.

Tertulis 96,7% penduduk Indonesia kurang makan sayur dan buah, lebih parah dari 5 tahun sebelumnya 95,9%, apalagi dibandingkan tahun 2013 sebesar 93,5% - padahal negri ini melimpah ruah produksi sayur dan buahnya, bahkan di skala ekspor.

Sementara itu 96,2% penduduk juga mempunyai alasan “enak rasanya”, sebagai justifikasi konsumsi kategori makanan berisiko: makanan minuman manis, berlemak/gorengan, makanan dengan pengawet, bumbu penyedap, minuman ringan, mi instan atau makanan instan lainnya.

Baca juga: Membangun Bangsa yang Sehat Tak Bisa Dikerjakan Sendirian

Selain soal rasa, alasan mudah didapat (91,5%), murah (79,3%), tapi justru mereka tidak tahu bahaya dan risikonya (43,3%).

Aneka iklan menyesatkan

Ketika negara-negara maju berjuang keluar dari kecanduan konsumsi produk instan dan ultraproses yang mempunyai dampak kesehatan jangka panjang, bangsa kita masih tergagap.

Bahkan, aneka iklan semakin tega menyesatkan makna asupan sehat bergizi dengan bintang iklan ‘bukan orang sembarangan’ – yang mestinya paham dan punya nurani, minimal suara hati untuk menyuarakan kebenaran.

Sasaran iklan tentu saja masyarakat minim literasi dan kelompok rentan: termasuk anak-anak.

Di negri ini, keliaran beriklan selama tidak mempertontonkan kekerasan dan konotasi seksual, dianggap bukan kepentingan Komisi Penyiaran.

Padahal, Pasal 9 ayat 1 Undang-undang Perlindungan Konsumen dengan jelas melarang pelaku usaha mengiklankan suatu barang, seolah-olah secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang lain: seperti halnya serbuk minuman lebih berkhasiat mengandung vitamin dibanding makan buah dan sayur aslinya.

Apalagi memberi klaim, seakan-akan lebih praktis ketimbang konsumsi sekian kilo buah dan sayur. Suatu perbandingan yang sangat absurd dan tidak masuk akal.

Begitu pula produk olahan yang perlu dikonsumsi, sebab ‘sarapan saja tidak cukup’.

Setting iklan dengan menggunakan sosok tenaga kesehatan, situasi sekolah, dan anak-anak di bawah umur seharusnya ada aturan yang jelas dan penerapan sanksi bila dilanggar.

Baca juga: Belajar dari Tiongkok, Warisan Tradisi Jadi Bekal Atasi Stunting hingga Ciptakan Teknologi

Betapa gembiranya produsen yang beriklan, jika semakin banyak penonton anak yang tertarik membeli, bahkan menuntut orangtuanya beli karena bintang iklannya sepantaran dan berceloteh dengan fasihnya, bahwa produk itu tidak membuat batuk, ‘tidak berisiko’ seperti kebanyakan produk lain yang serupa.

Belum lagi, iklan superlatif dan klaim berlebihan yang menggiring opini, seakan-akan anak tumbuh sehat dan tinggi, mempunyai imunitas yang kuat seperti perisai anti serangan penyakit.

Keputusan mengonsumsi makanan ditentukan konten iklan

Tulisan ini bertujuan untuk membuat kita kembali berpikir, bahwa keputusan konsumsi produk asupan manusia di negri ini, lebih banyak ditentukan oleh konten iklan yang menyasar berbagai lapisan masyarakat – dengan mempertimbangkan ketidakmampuan masyarakat menentukan keputusan bijak, berdasarkan pengetahuan dan literasinya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat