Pola Asuh Bikin Orang Punya Watak Keras Saat Dewasa, Benarkah?
JAKARTA, – Setiap orang memiliki watak yang berbeda-beda. Ada yang lemah lembut, ada pula yang berwatak keras.
Biasanya, orang berwatak keras disegani karena mereka teguh pada pendiriannya. Namun, alasan lainnya terkadang karena mereka sulit menerima perbedaan.
Psikolog klinis Fitri Jayanthi, M.Psi. mengungkapkan, ternyata watak keras seseorang terbentuk dari pola asuh yang mereka peroleh saat masih kecil.
“Orang berwatak keras ini tercipta berdasarkan pola asuh dari orangtua atau caregiver, maupun lingkungan yang membentuk dirinya,” tutur dia kepada , Selasa (5/11/2024).
Baca juga:
- Gampang Marah Jadi Salah Satu Sifat Zodiak Leo, Benarkah?
- Adakah Zodiak Terbaik? Ya, untuk Beberapa Sifat Ini
Adapun watak keras mengacu pada kepribadian seseorang yang memiliki pikiran, sudut pandang, kepercayaan, prinsip, dan tindakan yang kuat.
Artinya, seseorang dengan watak keras memegang teguh apapun yang kepercayaan yang dianut. Mereka juga menjadikan semua itu sebagai standar dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
“Umumnya, mereka cenderung sensitif dengan orang yang tidak sejalan dengan dirinya, bahkan bisa melampiaskan emosi marah kepada orang tersebut,” papar pendiri Cup of Stories ini.
Pola asuh ciptakan watak yang keras
Terkait pola asuh yang membuat seorang tumbuh dengan watak yang keras, tidak bisa dipastikan secara spesifik bentuknya seperti apa.
Akan tetapi, ada satu ciri-ciri dalam pola asuh yang umum dilalui oleh orang-orang berwatak keras ketika mereka masih kecil.
“Pola asuh yang mana anak kurang mendapatkan pengakuan atau pujian dari orangtuanya,” ungkap Fitri.
Baca juga:
- Ilmu Membaca Wajah, Benarkah Bisa Melihat Sifat Seseorang?
- Diungkap, Sifat Kepribadian Utama yang Terkait Umur Panjang
Ketika seorang anak tidak tumbuh dengan pengakuan atau pujian dari orangtuanya, mereka merasa bahwa mereka harus terus berusaha dalam melakukan sesuatu.
Kegigihan ini memang berdampak baik pada anak karena mereka jadi tidak mudah menyerah.
Namun, anak dapat terus merasa tidak cukup dengan upaya yang telah dilakukannya karena tidak ada pengakuan itu.
Alhasil, mereka bisa berselisih dengan orang lain, terutama ketika orang tersebut berpendapat bahwa upaya yang dilakukan sang anak sudah cukup baik.
Sebab, anak terpaku pada “pendirian” kurang cukup itu.
“Ia perlu menyadari bahwa tidak selamanya apa yang dipercayainya adalah suatu kebenaran,” pungkas Fitri.
Terkini Lainnya
- Tips Cari Perabotan Bebas Zat BPA, Penting untuk Kesehatan Keluarga
- 15 Tanda Pacar Selingkuh Saat LDR, Sering Tak Disadari
- Awas Perabotan Mengandung Zat BPA, Ini Bahayanya bagi Perkembangan Anak
- 8 Sifat Virgo dalam Percintaan, Kritis tapi Penyayang
- 9 Cara agar LDR Tetap Langgeng, Cowok Wajib Tahu
- Ibu Hamil Jangan Sering Pakai Perabotan Plastik, Ini Alasannya
- Marsha Timothy: Tak Ada Kata Terlambat untuk Merawat Kulit
- 3 Tips Intermittent Fasting ala Adrian Maulana, Mulai Secara Bertahap
- "Separate Issue" dalam Film "Finding Nemo"
- Kasus Remaja Bunuh Ayah dan Nenek, Kenali Tanda Awal Skizofrenia pada Remaja
- Marsha Timothy Ungkap Rahasia di Balik Kulit Awet Mudanya
- 5 Model Kacamata yang Sedang Tren, Ada Model Cat Eye
- 3 Jenis Produk Menstruasi dan Cara Menggunakannya, Perempuan Harus Tahu
- 16 Makanan Tinggi Protein untuk Diet Selain Telur, Ada Tempe dan Udang
- Pemanfaatan AI di Industri Kecantikan Diprediksi Jadi Tren Tahun 2025