Kesehatan Mental Pekerja Gen Z
Oleh: Bonar Hutapea, S. Psi., M. Psi.*
“Mental health is not a joke. It is a silent battle that people fight every day.”
SETIAP tanggal 10 Oktober, dunia memperingati "World Mental Health Day". Tahun ini, WHO menetapkan tema “Kesehatan Mental dalam Pekerjaan.”
Tema ini menyoroti, utamanya, lingkungan kerja yang aman dan sehat sebagai faktor protektif. Sedangkan kondisi tak sehat seperti stigma, diskriminasi, dan keterpaparan terhadap pelecehan dan kondisi kerja yang buruk merupakan faktor risiko terhadap kesehatan mental.
Lebih dari itu, kondisi pekerjaan bahkan berperan terhadap kualitas hidup pekerja secara menyeluruh (overall qualityof life) dan pada gilirannya berpengaruh terhadap kinerja, produktivitas kerja dan perilaku keorganisasian lainnya.
Gen Z, mengacu pada artikel yang ditulis María Dolores Benítez-Márquez dan kawan-kawan pada Frontiers in Psychology, 1 Februari 2022, terdorong untuk mendapatkan pekerjaan yang diimpikan.
Mereka lebih sering berganti pekerjaan daripada generasi sebelumnya. Jika tidak menyukai sesuatu, mereka siap untuk segera berpindah pekerjaan.
Sebabnya antara lain adalah dorongan mencari peluang untuk mengembangkan kecakapan (skill), peluang untuk maju, peningkatan gaji, pekerjaan bermakna, dan tim yang baik.
Selain itu, karakteristik generasi ini memang berbeda dari generasi sebelumnya, utamanya sebagai orang yang sangat ambisius dan sangat percaya diri.
Namun, bagaimana dalam situasi tekanan global yang tiada henti dan ketidakpastian ekonomi?
Kondisi ini seringkali disebut sebagai 'krisis permanen' (permacrisis) meliputi krisis keuangan global, selain perang, terorisme, ketidakpastian politik, dan krisis iklim yang hampir tidak dapat diubah.
Dampaknya sangat nyata, antara lain, pada gaji yang tak bisa mengimbangi kenaikan inflasi dan ketidakamanan kerja (job insecurity) karena PHK yang merajalela terutama karena era digitalisasi dan otomatisasi, sewaktu-waktu siapa saja bisa mengalaminya.
Kondisi ini membuat para pekerja dari segala usia menjadi sangat cemas. Namun, gen Z adalah kelompok yang paling merasakan tekanan tersebut.
Megan Carnegie dalam laman BBC edisi 17 Februari 2023, mengutip survei Cigna International Health tahun 2023 terhadap hampir 12.000 pekerja di seluruh dunia menunjukkan 91 persen yang menyatakan dirinya paling merasakan tekanan adalah mereka yang berusia 18-24 tahun.
Hampir seperempat dari mereka mengakui stres tak tertanggulangi. Hampir semuanya mengalami gejala burn out, antara lain ditandai dengan kelelahan emosional, kehilangan motivasi dan merasa terkuras sepanjang hari.
Terkini Lainnya
- Maudy Ayunda Rilis Koleksi Perhiasan, Punya Konsep "Harapan"
- Dulunya Obesitas, Kini Ravi Jadi Body Builder dan Personal Trainer
- Ingin Koleksi Perhiasan Mewah? Catat 3 Tips Ini
- Cerita Diet Ravi, Turun 42 Kg karena Khawatir dengan Riwayat Diabetes
- Jangan Beri Susu Cokelat Jika Anak Ogah Makan, Kenapa?
- 9 Tips untuk Mengurus Orangtua Lansia yang Terbaring di Tempat Tidur
- 4 Cara Mencegah Obesitas pada Anak, Apa Saja?
- Ramalan Zodiak Hari Ini 10 November 2024, Cancer Perlu Sayangi Diri Sendiri
- Bukan Cuma Pelengkap Penampilan, Perhiasan Juga Punya Makna Mendalam
- Makanan untuk Anak Dihangatkan Berkali-kali, Nutrisinya Berkurang?
- 4 Cara Efektif Mengatasi Craving Saat Diet, Salah Satunya Mindful Eating
- Melihat Detail Koleksi Eksklusif Jam Tangan Seiko Bertema Indonesia
- Perhiasan Mewah Dua Warna Diprediksi Akan Jadi Tren Tahun 2025
- Bolehkah Makan Camilan Saat Diet?
- Konser Dua Lipa Batal, Intip 4 Gaya Keren Sang Pop Star di Singapura