luxdomini.net

Belajar dari Tiongkok, Warisan Tradisi Jadi Bekal Atasi Stunting hingga Ciptakan Teknologi

Ilustrasi anak di Tiongkok
Lihat Foto

Masuk minggu pertama di bulan Oktober, udara Tiongkok tengah mulai terasa dingin. Dengan suhu di bawah 10 derajat Celcius menjelang subuh, orang tua dan kanak-kanak sudah bersliweran mengenakan jaket atau kardigan.

Saya kembali ke tempat yang sama selepas delapan tahun yang lalu, di desa kecil Chenjiagou, dimana Taichi pertama berasal, warisan budaya dunia yang sudah diakui UNESCO sejak 18 Desember 2020.

Delapan tahun kembali ke desa di negeri Tirai Bambu, yang kota-kota besarnya mencengangkan dunia modernisasi, terasa gema teknologi yang saat ini dianggap ancaman bagi dunia Barat.

Baca juga: Membangun Bangsa yang Sehat Tak Bisa Dikerjakan Sendirian

Polusi akibat asap kendaraan bermotor nyaris tidak ada, sebab hampir semua penduduk beralih ke sarana transportasi listrik.

Bahkan, angkutan umum seperti yang kita kenal di tanah air sebagai bajaj atau becak bermotor, sudah berubah mesin bertenaga elektrik. Semua buatan dalam negeri.

Mereka tertinggal empat tahun dari kita soal kemerdekaan negeri, tapi membawa 1.4 miliar rakyatnya melesat cepat menuju peradaban masa depan. Sungguh membuat setiap orang tak habis pikir.

Tradisi tak sebatas ritual budaya

Kemajuan peradaban yang dipahami betul makna dan tujuannya, tidak membuat manusia lupa akan sejarah, tradisi, dan esensi kehidupan.

Pun pemahaman tradisi, bukan sebatas ritual budaya atau basa-basi sosialisasi antar manusia.

Di tempat ini, setiap keluarga masih mengonsumsi minimal empat jenis sayur tiap harinya: kembang kol, aneka sayur kacang, tauge, dan aneka jenis labu. Tak terkecuali anak-anak dan remaja.

Tanpa perlu terkontaminasi kuliner asing, makanan bersahaja dengan menu sederhana tetap menggugah selera.

Mulai dari kuah ayam labu bertabur daun ketumbar yang cukup berbumbu garam, lada, dan sedikit jahe – hingga oseng kulit tahu bercampur irisan kapri dan cabai merah kering Sichuan.

Pada sore hari, penjual aneka pia rumahan berjejer di “jalan utama” desa – sama sekali tak nampak jajanan asing, apalagi aneka produk kemasan berbahasa asing.

Baca juga: Wilayah Ramah Anak, Membangun Masa Depan Lebih Layak

Tak ayal ingatan saya melesat ke desa-desa kita di tanah air yang sudah “terkontaminasi” aneka produk pangan dan minuman, yang bukan berasal dari budaya lokal.

Mirisnya, kaum mudanya justru merasa ingin keluar dari ke-lokal-an yang dirasa membelenggu dan kampungan.

Kita mulai kehilangan pangan dan menu tradisional yang kaya rempah dan kebaikan alam, ibu-ibu muda kebingungan memberi makan anaknya – dan lebih percaya produk kekinian yang dipromosikan mamagram: komunitas sepantaran yang pintar cari uang menjadi endorser.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat