Membangun Bangsa yang Sehat Tak Bisa Dikerjakan Sendirian
Belum lama ini saya sengaja mengangkat isu rokok dan polusi udara, di tengah ramainya ide ‘susu ikan’ yang penuh spekulasi kecukupan gizi.
Malnutrisi, penyakit kronik, dan rendahnya literasi adalah sumber masalah kualitas sumber daya manusia.
Layanan kesehatan premium mustahil menjadi solusi dan bukan merupakan tindakan efektif, apabila sumber masalah itu masih berpusar dalam komunitas masyarakat kita.
Lebih konyol lagi, jika yang dicari hanya solusi cepat mengatasi setiap problem kesehatan, sementara selama 79 tahun Indonesia merdeka masih belum bebas dari penjajahan kebodohan – yang katanya butuh waktu untuk mengubah perilaku.
Baca juga: Mengharapkan Generasi Z Melawan Pembodohan Kesehatan
Sedangkan kita berkejaran dengan waktu, dan generasi demi generasi masih berputar di sekitar lagu lama, cerita biasa.
Dari sisi asupan gizi: sebutlah ASI, yang diyakini beracun jika diberikan pada anak, saat ibunya mengandung lagi.
Kemudian, sebutlah memberi makan anak selepas maghrib menyebabkan cacingan. Sebutlah ibu hamil tidak boleh makan ikan karena bayinya jadi amis. Sebutlah balita tidak boleh diberi telur, sebab sumber bisulan.
Belum lagi, soal empat sehat lima sempurna, yang mestinya sudah musnah 10 tahun yang lalu sejak terbit Permenkes 41/2014 – tapi pemikiran feodal masih berkutat dengan cara pikir zaman penjajahan, seakan susu segala-galanya. Biar mirip ‘orang-orang barat yang tinggi’.
Seakan anak yang tumbuh tanpa susu, artinya dia tidak mendapat gizi sempurna.
Padahal, 80% lebih etnik kita intoleran laktosa, alias secara alamiah pencernaan tidak mampu mencerna susu dengan baik, hingga timbul keluhan kembung, mencret, bahkan diare setelah akumulasi konsumsi dalam kurun waktu tertentu.
Anehnya lagi, suplementasi protein pun dibuat dalam bentuk susu.
Masalah Rokok
Di luar urusan gizi, rokok masih mendominasi. Hampir semua bayi dan balita yang mempunyai masalah saluran napas kronik, dalam lingkungan hidupnya ada perokok.
Mulai dari ayah kandung, kakek, atau orang-orang lain yang ‘sliweran’ selagi anak ini membutuhkan oksigen ketimbang udara penuh asap dan racun rokok.
Baca juga: Wilayah Ramah Anak, Membangun Masa Depan Lebih Layak
Perokok kerap lebih galak ketimbang ibu yang berupaya melindungi anaknya. Gagal tumbuh moral, membuat mereka merasa punya hak yang sama untuk bebas merokok ketimbang merasa bersalah.
Dan ini terjadi di sekolah hingga kantor polisi, fasilitas umum yang mestinya bebas asap rokok, sekali pun ada poster besar bertuliskan “kawasan tanpa asap rokok”.
Terkini Lainnya
- Mak Comblang Ternyata Bisa Jadi Profesi Resmi, Mau Coba?
- Eksim di Kalangan Anak Semakin Meningkat, Kenapa?
- Gampang Marah Jadi Salah Satu Sifat Zodiak Leo, Benarkah?
- 5 Waktu Minum Air Putih untuk Diet agar Cepat Langsing
- Cara Memilih Pelembap untuk Anak Kulit Sensitif
- Catat, 5 Langkah Menutupi Stretch Mark dengan Makeup
- Cara Winona Atasi Kulit Kering pada Anak Saat Pergi ke Luar Negeri
- 10 Cara Menghilangkan Stretch Mark di Paha
- 8 Sifat Zodiak Leo Laki-laki, Wajib Tahu
- 5 Penyebab Stretch Mark di Paha, Bisa karena Genetik
- Sifat Zodiak Leo dalam Percintaan, Seperti Apa?
- Komunitas Bekasi Berkain, Tak Sekadar "OOTD" Pakai Batik
- Apakah Stretch Mark Normal pada Usia Remaja?
- Apa yang Disebut "Double Date"? Ini Arti dan Tipsnya
- Apakah Olahraga di Rumah Bisa Menurunkan Berat Badan?