Kenapa Orang-orang Tertentu Bersikap Tone Deaf?
JAKARTA, – Banyak orang menganggap bahwa tone deaf lebih sering terjadi pada masyarakat dari kelas sosial dan ekonomi menengah ke atas.
Dalam konteks sosial dan politik, tone deaf adalah situasi ketika seseorang tidak peka terhadap perasaan orang lain atau apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Anggapan ini tentu bukan tanpa alasan. Orang-orang melihat sebagian pengguna media sosial Instagram dari kalangan menengah ke atas cenderung enggan bersuara tentang situasi dan kondisi yang sedang terjadi di sekitarnya.
Baca juga: Apa Itu Tone Deaf? Ramai Dibahas di Medsos
Psikolog sosial Hening Widyastuti menjelaskan, hal ini berkaitan dengan kenyamanan yang dimiliki orang-orang tersebut.
“Ini berkaitan dengan ‘kenyamanan’ gaya hidup mewah di zona nyaman,” tutur dia saat dihubungi , Jumat (23/8/2024).
“Kebablasan” menutup mata
Setiap manusia pada dasarnya memiliki hati nurani yang peka, saat melihat sesuatu yang tidak semestinya terjadi. Misalnya, saat melihat sesuatu yang sedih, seseorang bisa terbawa sedih.
Saat melihat sesuatu yang membuat seseorang merasa tidak nyaman karena seharusnya tidak terjadi, umumnya mereka tergerak ingin membantu.
Kendati demikian, pada beberapa orang, empati mereka “terkurung” karena terpaksa menutup mata. Hal ini bisa terjadi karena faktor eksternal, seperti keluarga dan lingkup pertemanan yang tone deaf.
“Tapi, bisa jadi situasi itu akan tertutup oleh mungkin keluarganya. Misalnya, orangtuanya bilang ‘enggak usah ikut-ikutan’ atau ikut campur urusan orang lain, dengan pertimbangan cari aman untuk ‘diri sendiri’,” ujar Hening.
“Jadi, kebetulan tipe orangnya bukan model berani, pemberontak, dan sebagainya. Model orangnya penurut. Kalau sudah ada wanti-wanti seperti itu, biasanya langsung mengkerut dan takut,” lanjut dia.
Baca juga: Tone Deaf Bisa Terjadi di Semua Kalangan Sosial Ekonomi
Jika terus melakukannya, tentu akan menjadi kebiasaan. Apabila sudah “kebablasan” menutup mata, seseorang bisa menjadi tone deaf, karena enggan meninggalkan zona nyaman tersebut.
“Situasi yang aman dan nyaman dengan segala fasilitas terpenuhi, hidup mewah, bergelimang harta, dan kesenangan. Membuat mereka lebih fokus ke diri sendiri,” papar Hening.
Bukan urusan mereka
Tone deaf sebenarnya bisa terjadi pada siapa saja dari kelas sosial dan ekonomi mana pun. Akan tetapi, Hening tidak menampik bahwa banyak orang-orang tone deaf berasal dari kalangan menengah ke atas.
Menurut dia, orang-orang yang tone deaf menganggap, apa yang sedang terjadi di sekitar mereka bukanlah urusan mereka.
“Buat mereka, urusan rakyat susah, harga barang naik, daya beli masyarakat menurun, PHK di mana-mana, dan lain-lain itu bukan urusan mereka,” jelas Hening.
Bagi mereka, hal terpenting adalah kehidupan pribadi yang menyenangkan dan penuh kemewahan.
“Orang-orang seperti ini menutup mata, hati, dan jiwa terhadap lingkungan sekitar,” pungkas Hening.
Baca juga: Pentingnya Membangun Empati pada Anak sejak Dini
Terkini Lainnya
- Hampir Usia 2 Tahun Anak Belum Bisa Bicara, Perlu ke Dokter?
- Jangan Sering Mencuci Celana Jeans, Ini 2 Alasannya
- 8 Cara Mengajarkan Anak agar Mau Sikat Gigi Rutin
- Bolehkah Celana Denim Dicuci Pakai Sabun Selain Deterjen?
- Kenali Tanda-Tanda Anemia pada Anak Sebelum Terlambat
- 3 Cara Mencuci Celana Denim yang Benar, Jangan Asal
- Kapan Usia Ideal Anak Belajar Bahasa Asing?
- Setelah Anak Makan Jangan Langsung Sikat Gigi, Kenapa?
- Kemeja Flanel jadi Item Fesyen Andalan Vidi Aldiano, Kenapa?
- 3 Kunci Keberhasilan 1.000 Hari Pertama Kehidupan Anak
- Farra Jaidi Ingatkan Pentingnya Skin Prep Sebelum Makeup
- 3 Penyebab Seseorang Bisa Jadi Pelaku Toxic Relationship
- Bisakah Seseorang Keluar dari Toxic Relationship?
- Orangtua, Jangan Lupa Ukur Lingkar Kepala Anak di Posyandu
- Waspadai, 6 Siklus Kekerasan dalam Toxic Relationship