Luka yang Diwariskan: Menjaga Kesehatan Mental Gen Z

GENERASI Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, tumbuh dalam era digital yang penuh dengan tantangan dan perubahan cepat.
Di balik segala kemudahan teknologi, ada isu kesehatan mental yang semakin mendapat perhatian.
Banyak dari kita yang mungkin tidak menyadari bahwa tekanan sosial dan ekspektasi tinggi dari orangtua dan lingkungan sekitar dapat meninggalkan luka psikologis.
Generasi Z sering merasa terbebani dengan harapan untuk sukses di segala bidang, mulai dari akademik hingga kehidupan sosial. Ekspektasi ini bisa menyebabkan stres dan kecemasan bagi mereka.
Salah satu yang perlu kita perhatikan saat ini, yaitu media sosial. Media sosial menjadi pedang bermata dua bagi kesehatan mental.
Satu sisi, ini memungkinkan kita untuk terhubung dan berbagi cerita. Di sisi lain, media sosial juga dapat menjadi sumber tekanan besar.
Perbandingan yang terus-menerus dengan kehidupan orang lain, cyberbullying, dan kebutuhan untuk selalu tampil sempurna dapat mengganggu kesejahteraan mental.
Berbicara tentang trauma yang diwariskan berarti trauma yang dialami oleh orangtua atau generasi sebelumnya dapat berdampak pada kesehatan mental anak muda.
Misalnya, orangtua yang mengalami masa sulit mungkin tanpa sadar menurunkan kecemasan, ketakutan, bahkan perilaku tertentu kepada anak-anak.
Luka psikologis ini seringkali tidak terlihat, namun dampaknya sangat nyata. Selain itu pola asuh yang penuh tekanan dari orangtua yang ingin anak-anak mereka sukses dapat memperparah kondisi ini.
Anak-anak mungkin merasa terjebak dalam siklus harapan yang tidak realistis dan takut mengecewakan orangtua mereka.
Trauma antargenerasi ini juga dapat muncul dalam bentuk ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi secara sehat. Akibatnya terjadi konflik internal yang berkelanjutan dan hubungan yang tegang dengan orang-orang terdekat.
Lalu, apa yang dapat kita lakukan sebagai anak muda ketika memang ada luka yang diwariskan?
Mengatasi luka yang diwariskan membutuhkan dukungan dan pemahaman tepat. Terapi dan konseling dapat menjadi jalan keluar bagi yang membutuhkan bantuan profesional.
Selain itu, penting juga bagi lingkungan sekitar, yaitu keluarga dan teman untuk memberikan dukungan secara emosional.
Terkini Lainnya
- Video Viral Laki-laki Menangis di Konser Sal Priadi, Ini 7 Cara Atasi Rasa Bersalah akibat Kehilangan
- Gaya Cristiano Ronaldo Saat Naik Pesawat, Termasuk Saat ke Kupang?
- Mimpi Buang Air Besar, Tanda Keberuntungan atau Petaka?
- Apakah Tes MBTI Akurat? Ini Kata Ahli dan Deskripsinya
- Gaya Ikonik Mendiang Kim Sae-ron dan Won Bin dalam "The Man from Nowhere"
- Ronaldo ke Kupang Diajak Aktris Cote de Pablo, Siapa Dia?
- Zodiak Taurus Februari 2025: Karier Bersinar, Keuangan Harus Dikontrol
- 6 Cara Kabur dari Rutinitas Tanpa Harus Bepergian Jauh
- Bulking Saat Puasa, Aman atau Tidak?
- Survei: 62 Persen Orang Merasa Kesepian Meski di Tengah Keramaian
- Seperti Mahalini, Ini Alasan Banyak Orangtua Rahasiakan Wajah Bayinya
- Terapkan Sustainable Fashion, Kami Idea Manfaatkan Sisa Bahan Fesyen
- Remaja Rentan Merasa Kesepian, Ini Alasannya
- Kim Sae Ron Meninggal Dunia, Kenang 9 Gaya Ikoniknya di Film dan Drama
- Kesepian Lebih Sering Dialami Masyarakat Perkotaan, Mitos atau Fakta?