Mengembalikan Rasa Percaya Diri Menuju Kemandirian Pangan

Tulisan ini dibuat pada ketinggian 11887 meter di atas permukaan laut, penerbangan kembali dari Tokyo menuju tanah air.
Untuk ke sekian kalinya saya berusaha memahami, bagaimana negeri yang luluh lantak pasca bom Hiroshima-Nagasaki dalam waktu singkat menyeruak jadi negara maju, yang sekaligus umur harapan hidup warganya menduduki ranking teratas di dunia, yakni 84-85 tahun.
Masih juga teringat anekdot sarkasme soal “tentara kate” alias pendek, yang ditujukan pada prajurit Jepang saat perang dunia ke dua.
Baca juga: Mengharapkan Generasi Z Melawan Pembodohan Kesehatan
Sebutlah postur kate atau pendek itu bagian dari cermin stunting di masa tersebut, karena kemiskinan dan dampak perang -- sebagaimana yang pernah kita tonton dalam film “Oshin”.
Cermin kehidupan sesungguhnya masyarakat Jepang yang oleh sebagain besar orang kita hanya dipahami sebatas tayangan hiburan atau ledekan hidup susah saat pembantu pulang kampung.
Tak kalah mengejutkan, saat saya melihat poster peringatan 60 tahun shinkansen melayani transportasi rakyat Jepang. Artinya, sejak tahun 1964 industri kereta super cepat itu sudah berdiri, hampir 20 tahun pasca perang.
Begitu cepatnya fase pemulihan, pertumbuhan, dan perkembangan teknologi di negeri tirai bambu ini.
Petani dan Nelayan Tanpa Literasi
Tak elak, pikiran membandingkan dengan kondisi kita di tanah air setelah 78 tahun Merdeka, tentunya muncul.
Dan saya masih menenangkan diri, mengandaikan kondisi kita berbeda dengan mereka.
Selain rakyatnya jauh lebih banyak dan jauh “lebih sulit” diatur, perbedaan budaya, juga bentangan Nusantara, tidak dapat disamakan dengan kepulauan Jepang yang hanya sepersekian luas negri kita.
Tapi tetap saja pikiran gemas “gregetan” bersliweran, sebab kisah-kisah korupsi kita semakin berani, bahkan melibatkan jejaring kroni.
Sementara petani dan nelayan selama 78 tahun masih belum berdiri berdikari, bahkan kemakmurannya digerogoti kartel dan segelintir manusia pemburu cuan, di tengah ketidakpastian nasib produsen ketahanan pangan nasional.
Padahal, di setiap debat kampanye pimpinan negeri maupun kepala daerah, petani dan nelayan selalu dijadikan tokoh sentral tempat janji-janji manis diumbar. Habis itu apa?
Literasi dan teknologi sama sekali bagai benda asing di mata petani dan nelayan – bahkan rasa bangga atas pekerjaan tidak ada dalam diri mereka.
Anak-anaknya disuruh “sekolah tinggi” (bukan di bidang pertanian dan kelautan, tentunya) agar bisa bekerja di kota, sekalipun harus makan gaji jadi pegawai rendahan. Dengan tekad, supaya “tidak hidup susah” seperti orangtuanya.
Terkini Lainnya
- Gaya Cristiano Ronaldo Saat Naik Pesawat, Termasuk Saat ke Kupang?
- Mimpi Buang Air Besar, Tanda Keberuntungan atau Petaka?
- Apakah Tes MBTI Akurat? Ini Kata Ahli dan Deskripsinya
- Gaya Ikonik Mendiang Kim Sae-ron dan Won Bin dalam "The Man from Nowhere"
- Ronaldo ke Kupang Diajak Aktris Cote de Pablo, Siapa Dia?
- Zodiak Taurus Februari 2025: Karier Bersinar, Keuangan Harus Dikontrol
- 6 Cara Kabur dari Rutinitas Tanpa Harus Bepergian Jauh
- Bulking Saat Puasa, Aman atau Tidak?
- Survei: 62 Persen Orang Merasa Kesepian Meski di Tengah Keramaian
- Seperti Mahalini, Ini Alasan Banyak Orangtua Rahasiakan Wajah Bayinya
- Terapkan Sustainable Fashion, Kami Idea Manfaatkan Sisa Bahan Fesyen
- Remaja Rentan Merasa Kesepian, Ini Alasannya
- Kim Sae Ron Meninggal Dunia, Kenang 9 Gaya Ikoniknya di Film dan Drama
- Kesepian Lebih Sering Dialami Masyarakat Perkotaan, Mitos atau Fakta?
- Gelar "Fan Meeting" di Jakarta, Hwang In Youp Ungkap "Outfit" Andalannya