Menyusui dan MPASI: Esensi Tandem Pencegahan Stunting sejak Dini
Awal bulan Agustus secara internasional diperingati sebagai Pekan Menyusui Dunia setiap tahunnya.
Menyusu adalah proses alamiah seorang anak memperoleh nutrisi pertama kalinya setelah dilahirkan.
Sayangnya, tidak semua orang paham bahwa proses ini harus dilindungi, dijaga keberlangsungannya, dan dipahami secara komprehensif tanpa dibenturkan dengan kondisi apa pun.
Termasuk perubahan situasi hidup manusia dari tahun ke tahun: saat ibu sudah tidak lagi berkutat dengan pekerjaan rumah, tapi juga dituntut bekerja di luar kediamannya seperti laki-laki.
Baca juga: Indonesia Krisis Konselor Laktasi dan Literasi Gizi
Dengan evolusi produk pengganti ASI, yang promosi dan objektivasinya sudah melewati batas bablas, cara pandang manusia terhadap proses menyusu ini direduksi, dipersempit tinggal sebatas nutrisi yang bisa dikalkulasi, dan dimanipulasi industri.
Bahkan, sudah ada percobaan ‘mengawetkan’ ASI mirip jadi susu bubuk yang (semoga jangan) suatu saat dijadikan komoditi baru -- dengan target pemasaran bagi ibu-ibu yang ‘ngebet’ ingin memberikan ASI, tapi sama sekali buta tentang cairan hidup yang ‘kebetulan’ berwujud seperti susu pada umumnya.
Bagi orang Indonesia, kenekatan komersialisasi ASI masih sebatas liarnya jual beli di ‘online shop’, yang menawarkan ASI beku yang tak jelas asal usulnya, secara bombastis disebut tahan hingga 12 bulan (padahal mustahil komposisinya masih baik).
Padahal, ASI adalah cairan hidup yang komposisinya tidak sama, sehingga mustahil juga diberi kepada bayi dengan rentang usia yang tidak sama. Ditambah lagi, kemasan plastik yang berkontribusi pencemaran mikroplastik ke dalam ASI itu sendiri.
Di rumpun pendidikan kesehatan, calon-calon tenaga kesehatan juga tidak pernah mendapat kurikulum yang membahas soal air susu ibu dan proses menyusui secara mendalam.
Padahal, ini adalah rangkaian fungsi fisiologis makhluk hidup untuk bisa tumbuh kembang secara optimal.
Dimulai dengan cara yang benar, terdampingi, termonitor dengan pertambahan berat dan panjang badan optimal sebelum bayi masuk dalam proses makan sesungguhnya.
Itu pun menjadi proses estafet dari ‘menyusu saja’ hingga ‘makan saja’, mulai dari rentang usia 6 bulan hingga 24 bulan.
Sayangnya, pencegahan stunting hampir tidak menyinggung soal proses menyusu ini. Bahkan sabotasenya makin banyak.
Lebih mengerikan lagi, donasi sana sini membuat bayi-bayi yang semestinya masih harus menyusu dan mendapat antibodi dari ASI malah beralih ke susu formula, menjadi diare dan semakin sering sakit.
Baca juga: Kadus, Kapuskes, dan Ketua TP PKK, Pahlawan Sejati Pencegahan Stunting
Miskinnya pemahaman tentang proses menyusu dan Air Susu Ibu (yang tidak sama dengan susu kardus), menjadikan cakupan ASI eksklusif melorot dari 69.7% di tahun 2021 menjadi 67.96% pada tahun 2022 menurut data UNICEF Indonesia.
Terkini Lainnya
- Salah Pilih Pompa ASI Bisa Bikin Produksi ASI Menurun, Mitos atau Fakta?
- Rutinitas Kebugaran Sesuai Shio untuk Hidup Lebih Sehat dan Seimbang
- 4 Gaya Rambut Pendek Song Hye Kyo, Fresh dan Elegan
- Intip 3 Style Alyssa Daguise Bergamis Saat Pergi Umrah
- Panduan Lengkap Makanan Keberuntungan dan Pantangan Berdasarkan Shio
- Kompres Payudara dengan Air Hangat Sebelum Menyusui, Apa Manfaatnya?
- Ivan Gunawan Buka Panggung untuk Desainer Muda di Garis Poetih Raya Festival
- Ivan Gunawan: Gaya Berpakaian Harus Nyaman, Bukan untuk Puaskan Netizen
- Tip Menemukan Cincin Kawin yang Tepat sebagai Simbol Perjalanan Cinta
- 3 Cara Ayah Mengatasi Konflik Emosional Anak Saat Memutuskan Poligami
- Jadi Menteri Terkaya, 6 Potret Widiyanti Putri Wardhana Berkebaya
- 7 Gaya "Old Money" Widiyanti Putri Wardhana, Kekayaannya Capai Rp 5,4 Triliun
- 3 Manfaat Mengajarkan Anak Berpikir Kritis sejak Dini
- Alat Pompa ASI Tidak Melekat Sempurna, Apa Penyebabnya?
- Atasan "Abuse of Power", Produktivitas Karyawan Terpengaruh